Saat lebaran seperti ini telinga kita tidak bisa asing dengan kata mudik.
Saya jadi terngiang kata-kata almarhumah nenek. Beliau bertanya pada saya tentang bagaimana saya memaknai kata mudik tersebut. Nenek yang sangat kental dengan cultur jawa tulen dan masih berpegang teguh agar kebudayaan jawa lestari menguraikan pandangan beliau.
Filosofi jawa ( kejawen ) mengenal istilah Sangkan Paraning Dumadi. Apa sebenarnya Sangkan Paraning Dumadi ? yaitu pemahaman tentang kemana arah tujuan kita setelah kita di penghujung hayat nanti. Nah, tak ubahnya dengan istilah mudik. Ketika mudik, timbul pemahaman dari mana kita berasal dan nantinya kita akan pulang ke tempat kita berasal, seperti diungkapkan dalam syair tembang dhandanggula yang kemudian dilantunkan nenek sangat merdu :
Kawruhana sejatining urip
Urip ana jroning alam donya
Bebasane mampir ngombe
Umpomo manuk mabur
Lunga saka kurungan neki
Pundi pencokan benjang
Ojo kongsi kaleru
Umpomo lungo sesanjo
Najan-sinanjan ora wurung bakal mulih
Mulih mula mulanya
Artinya demikian :
Ketahuilah sejatinya hidup,
Hidup di dalam alam dunia,
Ibarat perumpaan sekedar singgah untuk minum,
Laksana burung terbang,
Pergi dari sangkarnya,
Kemana atau dimana hinggapnya besok,
Jangan sampai keliru,
Ibarat saling datang bertandang, pastilah akan pulang,
Pulang ke asal mulanya.
Kemanakah kelak kita akan pulang ? Dimana tempat kita hinggap andai sukma melesat terbang dari sangkarnya ( raga ) ? Kemana kita pulang nanti setelah bertandang ke dunia ini ?
Jelaslah dari gambaran lagu tersebut bahwa hidup kita di dunia ini tidaklah abadi. Harta, tahta, kesenangan, kesedihan, semua itu fana. Wejangan para leluhur mengatakan " Urip kang sejati yaiku urip kang tan keno pati " (hidup yang sejati adalah hidup yang tidak bisa terkena kematian). Siapkah kita menghadapi hidup yang sejati jika kita senantiasa berpegang teguh dan lekat pada kehidupan di dunia yang serba fana ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar