Sabtu, 16 Agustus 2014

Mencoba Kenal Ayah

Ayah, perkenalkan, inilah aku, putri Ayah. Usiaku 30 tahun dengan 2 putera sebagai cucu Ayah. Sekian lama dan baru hari ini aku berani menyapa Ayah. Maaf  Ayah, tidak ada foto ataupun ilustrasi wajah Ayah pada tulisanku ini, karena aku benar-benar tidak tahu seperti apa wajah Ayah. Meski begitu, aku tak marah pada Ayah yang tak pernah mau menyapaku walau di sekelebat mimpiku.

Ayah, biarkan tinta pena ini menggenang bagai air, sedang anganku mengambang liar dan berharap udara beku kan menuntunku dekat padamu, berandai-andai bila saat ini kita bertatap muka. Tapi pada puncak kerinduanku kini, apakah aku sanggup bersuara ? aku tak yakin, Ayah. Maafkan aku yang tak pandai bicara, dan tak mahir menyematkan bunga di sudut kata, sebab yang kupunya hanya mata yang kan sanggup tuk menatapmu lama dalam kerinduanku yang teramat kekal.

Ayah, ijinkan aku bercerita tentang masa kecilku tanpa bermaksud membuat jiwa Ayah seakan terpental pada sebuah penjara kekal tempat hukuman terberat dalam hidup yaitu rasa sesal. Sedikitpun aku tiada pernah membenci Ayah. Aku tumbuh sebagai puteri Ayah yang membanggakan. Aku tak cengeng, bahkan selalu tampil paling tangguh diantara teman sepermainanku. Benteng kokoh ku bangun tuk berlindung, hingga tak satu pun yang berani menggangguku. Ya Ayah, aku harus begitu, karena aku sadar bahwa ketika mereka menggangguku, aku tak mungkin mengatakan pada mereka " Awas ya, aku adukan pada Ayahku".

Hingga aku beranjak remaja, prestasi selalu ku raih. Tahukah Ayah, mengapa aku selalu mendambakan menaiki podium disetiap catur wulan, semester dan kenaikan kelas ? Karena hal tersebut seakan bagai candu yang tak mungkin bisa ku sudahi. Dari atas podium itu, ku rasakan kehadiran Ayah diantara orang tua murid yang hadir saat itu. Seakan Ayah bangkit, bertepuk tangan untukku sambil menyeka airmata Ayah dengan sapu tangan. Ya Ayah, sensasi itu yang membuatku bersemangat mendulang prestasi lagi dan lagi.
Ayah, aku tak pernah nakal. Aku selalu berusaha untuk tidak menyusahkan ibu, aku selalu pulang tepat waktu, aku tak mau ibu khawatir, dan karena aku tahu Ayah tak mungkin membantu ibu untuk mencariku.

Ayah, aku bisa saja membohongi dunia, duka mungkin takkan tampak, tapi tanpa berkata, air mata ini menjelaskan semua. Kesedihan ini adalah percakapan rahasiaku. Tangisan ini adalah kata-kata, bahasa yang dibasahkan air mata. Mungkin jika saat ini kau ada, kita bisa banyak melewatkan waktu bersama. Berdiskusi tentang berbagai topik saat ini, menonton serial detektif crime scene, atau membeli buku. Meski aku belum pernah mengenal Ayah, tapi aku tahu bahwa Ayah gemar membaca, menonton film tentang penyelidikan seorang detektif dan memecahkan misteri. Aku juga tahu bahwa Ayah penggemar kopi. Kesemuanya aku temukan pada diriku yang tak kutemukan pada ibu.

Ayah, ajari aku membujuk air mata ini agar tak jatuh, saat rasa kosong memaksaku runtuh sebagai hamba yang hanya bisa patuh dalam kepasrahan. Aku selalu belajar untuk mencintai Ayah tanpa ingin menjatuhkan air matamu. Aku sadar, ada sebagian diri Ayah di masa depanku yang tak akan pernah kulepaskan. Aku mewarisi darah Ayah dalam setiap denyut nadiku. Mungkin Ayah mau mengajariku belajar tuk berdiri sendiri karena sebagian orang di dunia ini yang kukira kan selalu ada, pada akhirnya nanti pasti akan pergi juga. Aku tahu, Ayah menginginkanku menjadi seorang yang kuat. Ayah tak mungkin memberiku secangkir air mata untuk kuminum hari ini, dan menangiskannya esok hari.

Terima kasih Ayah, hanya untaian doa yang bisa ku haturkan. Aku tak tahu dimana pusara Ayah. Hal itu terasa pedih, sangat pedih. Bahkan yang lebih pedih dari air mataku adalah tanganku, yang sebenarnya tak jauh, namun tak bisa menyeka air matamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar